“Keterlaluan!” getir Gadis Jam 5 Sore.

“Maaf..” lesu Tukang Cerita.

“Ada dusta di matamu!” murka Gadis Jam 5 Sore.

“Maaf..” lirih Tukang Cerita.

—Interval—

Desau angin di lautan pasir menerbangkan bongkahan-bongkahan semak kering melewati mereka. Angin lautan pasir inilah yang menerbangkan bisikan pasir di bawah kaki mereka hingga ke telinga.

Bisikan yang menguatkan Gadis Jam 5 Sore.
Bisikan yang menyiksa Tukang Cerita.

Kelabu.
Dukungan murka langit kepada Gadis Jam 5 Sore, membentuk gumpalan-gumpalan besar awan kelabu. Menimpa lautan pasir berwarna kelabu yang seolah tak bertepi, tempat mereka berdiri terdiam.

“Sampaikan kata-kata terakhirmu!” kering Gadis Jam 5 Sore.

Menguatkan hati, Tukang Cerita mendongak memandang wajah Gadis Jam 5 Sore.

Terlihat di depannya.

Wajah sekaku topeng noh, segaris tipis bibir tanda tak terbantahkan, kelereng hitam bola mata yang tak tergoyahkan.

Tukang Cerita tersenyum pasrah. Melihat kebulatan tekad gadis yang sangat dicintainya itu, tidak ada lagi yang bisa dia lakukan.

“Ijinkan saya mengatakan 1 hal saja. Tapi maaf, saya tidak pandai menjelaskan.” pinta Tukang Cerita.

“Katakan.”

Berat Tukang Cerita menghela napas. Gerak angin, gerak pasir menyeretnya menjauh dari yang membuatnya rela menukar nurani dengan kebodohan.

“Tampaknya memang sulit untuk dipahami oleh mereka yang terlahir dari keluarga.” gumam Tukang Cerita, takut melukai Gadis Jam 5 Sore lebih dari yang dia lakukan. Mengepalkan sepuluh jarinya, Tukang Cerita melanjutkan dengan nada yang bisa didengar.

“Aku lahir dan liar dari alam. Tidak ada yang mengajariku segala sesuatu. Tidak ada yang mengajariku nilai benar dan salah. Tidakkah engkau tahu betapa putus asanya aku karena selalu melakukan hal yang keliru? Aku butuh kamu untuk mendampingiku, mengajariku, dan terus menjagaku untuk selalu berbuat benar!”

Tanpa sadar Tukang Cerita menaikkan nada bicaranya.
Terdengar bagai bisikan dari lelaki menyedihkan bagi Gadis Jam 5 Sore.

“Kau sudah dewasa.” kaku Gadis Jam 5 Sore membalasnya.

Tukang Cerita kembali tertunduk. Gerak angin, gerak pasir telah membenamkannya setinggi matakakinya yang telanjang.

“Begitukah? Bahkan aku tidak tau kalau seseorang bisa menjadi dewasa begitu saja.”

Tukang Cerita kembali mengangkat wajahnya. Menatap lurus di kejauhan. Jemarinya yang mengepal kini terbuka lemas.

Gadis Jam 5 Sore melihat cahaya telah menghilang dari sorot mata Tukang Cerita.

“Kau menyalahkan keadaan?” tuntut Gadis Jam 5 Sore.

Tukang Cerita tertegun.

“Begitukah kedengarannya? Maaf kalau begitu…Bukan maksudku seperti itu. Kau tau, bahkan aku tidak pernah belajar untuk menyalahkan keadaan.” kata Tukang Cerita, kosong.

Gadis Jam 5 Sore melihat tidak ada lagi cahaya dari seluruh tubuh Tukang Cerita.

Tidak ada yang bisa dilakukan lagi. Gadis Jam 5 Sore berlalu bersama angin. Meninggalkan wangi angin surgawi.

Angin yang meski selalu mengguncang tubuhnya, tapi juga sekaligus yang menjadi penopang untuk dirinya tetap tegak berdiri, kini telah benar-benar berhenti.

Tukang Cerita pun terhempas di hamparan pasir kelabu yang masih menyisakan kehangatan mentari di siang hari.

Dari posisinya yang terbaring miring dengan telinga kiri yang menempel di jutaan butir pasir, bisikan-bisikan pasir itu mengalir deras ke telinganya,

“Konyol!”

“Bebal!”

“Bodoh!”

“Tempatmu memang di sini!”

“Kenapa kau masih bermimpi?”

“Kau pikir bisa ke tempat tinggi penuh cahaya itu?”

“Ingat, asalmu adalah kubangan lumpur!”

“Tidak ada lagi kesempatan buatmu!”

Bisikan-bisikan pasir berhenti seiring jatuhnya tetes hujan badai kemurkaan langit. Membenamkannya dalam lumpur…

T A M A T