Sore Hari.

“Ceng! Cengkir!” panggil Kang Sronto.

“Kamu di mana, to Ceng?” seru Lik Power sambil menggeledah rumah.

“Gak akan kami apa-apain kok, Ceng.” bujuk Mas Roy sambil melongok, malu-malu, ke dalam kamar mandi.

“Nggak usah sembunyi di tempat gelap kayak gitu, to Ceng. Bisa bikin hatimu jadi gelap, lho Ceng!” kata Juragan Brono prihatin. Tangan gemuknya menggasak di kegelapan lemari makan sambil prihatin kenapa isinya sedikit sekali.

Berapa saat kemudian, Kang Sronto, Lik Power, Mas Roy dan Juragan Brono kembali berkumpul di teras. Duduk melingkar di depan meja bundar dari jati yang telah jadi saksi ratusan Obrolan Sore.

Tidak ada sekedar hidangan kopi pahit dan ketela goreng sore ini.Begitu juga tidak ada Cengkir sore ini sebagai tuan rumah.

Keempat bapak Pemuja Obrolan Sore kali ini telah mencari ke seluruh penjuru rumah joglo tua, tapi Cengkir sebagai Juru Kunci Obrolan Sore tidak tampak batang hidungnya.

Ini tentu menggelisahkan.

Bagaimana bisa Obrolan Sore terlaksana tanpa adanya tuan rumah? Sedangkan sejak nenek moyang mereka, pemilik rumah ini sudah diamanahi untuk menyelenggarakan perhelatan Obrolan Sore secara turun-temurun. Sama seperti keluarga Lik Power yang sejak nenek moyang menjadi Kepala Desa Carangpedopo.

Belum lagi…

“Gimana ini, Lik Power?” tanya Kang Sronto kuatir.

“Gimana apanya? Ya ndak gimana-gimana. Nanti kan Cengkir balik sendiri.” tukas Lik Power, acuh meracik dan melinting rokok yang memang selalu ada di kaleng usang bekas biskuit di atas meja.

“Tapi, ndak biasanya lho Cengkir belum keliatan jam segini. Sesibuk apapun, dia mesti nyempetke buat sekedar bikin suguhan buat kita.Lha ini?… Jangan-jangan Cengkir ilang!” kata Kang Sronto oportunis, menggiring hadirin ke suasana dramatis. Keadaan kacau berati proyek rupiah baginya.

“Haiyah… Yo ben to. Ya biar aja. Cengkir ilang aja dikawatirkan. Kalo emang Cengkir ilang, trus rumah ini ndak ada penghuninya. Ya cari gantinya! Siapa sih jaman sekarang yang ndak butuh rumah?” jawab Lik Power tenang sambil menghisap rokok silumannya (bahannya yang memakai kemenyan memang bisa buat manggil siluman).

“Tapi masalahnya…” kata Kang Sronto menggantung ucapannya sebagai dorongan terakhir untuk umpan yang ditebarkannya. Kumis tipis di wajah tirusnya bergerak tak sabar menunggu umpannya mengena.

“Masalahnya apa?”  tantang Lik Power.

“Masalahnya, Cengkir itu tau terlalu banyak seluk-beluk pemerintahan Carangpedopo ini.” kata Mas Roy sang Putera Mahkota dengan lugunya memakan umpan Kang Sronto.

“Nah itu! Gimana kalo di luar sana, Cengkir mbukak semuanya? Soal skandal Bang Sianturi? Soal bisnis Bu Kades? Soal penyalahgunaan kekuasaan Pak Kades? Wah gawat!” sambar Kang Sronto menyiram minyak.

“Belum lagi rekening PD ( Partai Desa) yang 47 triliun itu. Gawat itu.” kata Juragan Brono yang ikut terpancing dan mulai panik. Tanpa sadar dia berulang kali mengusap wajahnya yang lebar dan berminyak.

“Blaik, gawat kalo gini!” seru Lik Power yang akhirnya terpengaruh. Kemudian mantan sekaligus ayah Kepala Desa Carangpedopo yang masih memiliki kekuasaan penuh ini bertitah. “Hayo semuanya, cari Cengkir lagi! Siapa tau dia masih ngumpet di rumah ini. Priksa sekali lagi semua kolong rumah!”

Kembali rumah Cengkir digeledah dengan gaduh.

Lik Power memeriksa kamar-kamar.

Mas Roy memeriksa kamar mandi-kamar mandi.

Juragan Brono menggasak lemari dan meja makan, juga dapur.

Kang Sronto beraktifitas mencurigakan di pojokan. Tempat yang terlindung dari bapak-bapak yang lain. Mengganti kartu ponselnya, mengirimkan 1 sms dan mengembalikan kartu ponselnya seperti sedia kala.

Beberapa waktu kemudian, semua kembali duduk berkumpul di sekeliling meja jati tua yang telah menghitam.

Eddian, kayaknya Cengkir sudah kabur ke desa sebelah!” kata Kang Sronto berapi-api. Nasib Cengkir yang semula hilang kini menjadi tertuduh pelarian.

“Tambah runyam kalau Cengkir sampai buka mulut dan tiup peluit dari sana. Hansip kita jelas ndak bisa nangkapnya.” timpal Lik Power yang langsung prihatin dengan nasib dinastinya.

Hening.

Semua sibuk dengan pikiran dan kepentingan masing-masing.

Tiba-tiba terdengar suara ponsel memecah kesunyian. Ternyata notifikasi sms ponsel Lik Power.

Raut wajah Lik Power mengkerut mengerikan begitu membaca sms itu.

Ueddiann!…bener-bener sudah ndak waras Cengkir ini. Berani-beraninya dia sms kayak gini!” raung Lik Power.

“Sms gimana, to Lik?” tanya Kang Sronto pura-pura.

“Nih!” Lik Power mengangsurkan ponselnya.

Berikutnya ponsel itu bergiliran berpindah tangan, sehingga semua membaca isi sms itu yang memang mengejutkan :

 SAYA CENGKIR ASLI.SAYA SEDANG DIFITNAH.TOLONG KIRIM PULSA KE NOMOR INI.JANGAN BLS…EH,MAKSUDNYA, SAYA AKAN BONGKAR SEMUANYA!

“Bener-bener sudah terlalu anak itu.” Juragan Brono sambil geleng-geleng kepala prihatin. Untuk kesekian kali Juragan Brono mengelap wajah dengan sapu tangan besarnya. Udara sore yang seharusnya berhembus sejuk dari sela-sela pepohonan di pekarangan rumah Cengkir terasa membakar.

“Tapi siapa tau itu bukan dari Cengkir. Bisa aja dari orang-orang yang ngaku Cengkir.” kata Kang Sronto mengetes.

“Saya kira yang mengirim sms ini adalah Cengkir.” sanggah Mas Roy dengan bahasa formal agar dibilang profesional. Ini juga pertanda Mas Roy akan menyemburkan analisanya.

Benar saja. Setelah mendehem beberapa kali untuk menambah kesan profesional. Mas Roy memulai deduksinya. “Pertama, kode depan nomer ini adalah kode desa sebelah. Kedua, masalah ini hanya kita yang tau dan pastinya juga Cengkir.”

Kang Sronto mengangguk-angguk. Merasa aman dan senang mempunyai putera mahkota yang suka sok serius dan sering mengeluarkan pernyataan keliru. Benar-benar calon pemimpin desa yang bisa diharapkan…hoho.

“Biar aku coba telpon ke nomer itu.” Juragan Brono berinisiatif.

Beberapa saat setelah mendengarkan lewat ponselnya. Juragan Brono berkata. ” Nomernya sudah ndak aktif.”

Kang Sronto mengangguk pasti. Karena nomer itu memang sudah aman di dasar jamban rumah Cengkir.

“Trus gimana ini, Lik?” tanya Kang Sronto.

“Bikin aja panitia buat jemput Cengkir.” usul Juragan Brono ringan sambil melap mulutnya. Tangannya yang gemuk dihiasi cincin emas yang besar-besar. Baginya menyelesaikan masalah adalah dengan mengutus orang untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Inilah yang ditunggu-tunggu Kang Sronto. Sambil membusungkan dada, Kang Sronto berdehem kemudian berkata. “Biar saya yang membentuk panitia sekaligus yang jadi ketuanya. Saya siap untuk membawa Cengkir pulang dengan cara apapun.”

“Nah beres. Dananya disamakan seperti dana kursus kepribadian anggota Lembaga Musyawarah Desa di Afrika, ya?” kata Juragan Brono final. Untuk hal seperti ini memang Juragan Brono ahlinya.

Kang Sronto mengangguk mantap dengan pandangan mata berbinar.

Beberapa waktu kemudian, Lik Power, Juragan Brono, Mas Roy dan Kang Sronto terlibat diskusi seru tentang bagi-bagi dana yang nanti didapat Kang Sronto…eh maksudnya, diskusi tentang bagi-bagi tugas dan bagaimana teknis penjemputan Cengkir.

Mendadak,

“Wah, dah ngumpul semua…maaf, maaf. Ngapuntene ndak sempet ngasih suguhan.”

Kepala-kepala yang tertunduk hingga seakan saling menempel karena saking seriusnya mendiskusikan jatah dana yang diperoleh, eh, jatah tugas yang didapat, terlengak memandang ke arah sumber suara.

Berdiri di hadapan mereka, Cengkir yang sedang cengar-cengir merasa bersalah.

Ueddian! Dari mana aja kamu, to Ceng?” semprot Lik Power.

“Iya, ngapain juga kamu balik sekarang, to Ceng? Belum juga dijemput!” timpal Kang Sronto emosi. Proyek di depan mata

“Hah?” tanya Cengkir bingung.

“Eh… pokoknya, ayo jelaskan dari mana aja kamu ini? Bikin kawatir kita aja.” ralat Kang Sronto.

“Dari tadi aku berobat ke puskesmas kecamatan. Ternyata disana buanyak priyayi, tokoh-tokoh desa Carangpedopo ini yang berobat. Ada juga beberapa yang sedang kesandung KPK (Kaur Pemberantas Kedholiman). Jadinya, ya saya terpaksa dapat giliran paling belakang. Itu aja pas puskesmasnya dah mau tutup.” kata Cengkir memberikan penjelasannya.

Semua manggut-manggut.

“Brati kamu ndak bocorin rahasia negara di desa sebelah, ya Ceng?” tanya Mas Roy memastikan.

“Ya ndak lah. Lagian saya kan ndak tau apa-apa soal rahasia pemerintah desa Carangpedopo.” jawab Cengkir datar. Sedatar mukanya saat mengucapkan itu.

Hampir saja semua kembali manggut-manggut. Tapi keburu dipotong Lik Power yang tersadar akan sesuatu,

“Lho, eh, tapi ngapain kamu pake kirim sms ancaman kayak gini?” tuntut Lik Power sembari mengangsurkan ponselnya. Menunjukkan sms ancaman tadi.

Cengkir membaca sekilas. Kembali nyengir sebelum berkata. “Walah, gimana to Pak Lik. Saya ini kan ndak punya hp. Kan saya ndak dapet tunjangan komunikasi 50 juta per bulan.”

“Weh, iya,ya… Eh, lha trus, sapa yang ngirim sms ini?”

Pertanyaan Lik Power itu tak mendapat jawaban. Adzan maghrib sudah berkumandang. Tanda berakhirnya Obrolan Sore kali ini.

Tapi yang jelas, keesokan harinya Kepala Desa Carangpedopo memanggil semua stafnya untuk curhat, eh untuk menyampaikan kecaman dan keprihatinannya atas sms gelap yang ditujukan untuknya.

“Au ah gelap.” komentar lirih Cengkir di pojokan. Menggigil. Sakit benerannya belum sembuh.