Sore hari.
Telah duduk mengelilingi meja bundar usang di teras rumah joglo tua itu, Kang Sronto, Kang Guru, Mas Roy, Lik Power dan Cengkir selaku tuan rumah. Jamuan sore ini adalah segelas kopi kental-manis dan rokok tingwe (linthing-dewe , swa-linting).

“Katanya Unas, ujian nasional dibubarkan ya, Kang Guru?” tanya Kang Sronto membuka Obrolan Sore.

“Keputusan Mahkamah Agung, Unas memang ditiadakan. Tapi sama Pak Menteri Unas tahun ini tetap diadakan.” jawab Kang Guru.

“Karena sudah terlanjur diproyek, ya Kang? hehe…” celetuk Cengkir.

“Nah itu juga kenapa Unas ditiadakan sama MA. Karena semua dibebani untuk mencapai jumlah kelulusan sebanyak-banyaknya, malah jadi peluang segala macam kecurangan.”

“Jumlah kelulusan yang tinggi adalah prestasi dan gengsi. Makanya, dari pejabat sampai guru berusaha meraih target ini. Karena sarana dan prasarana pendidikan belum merata ke seluruh pelosok nusantara, semua pemuja gengsi ini menempuh jalan-jalan pintas yang bisa mereka pikirkan.”

“Jalan pintas berati jalan uang. Ini berarti bisnis jalan pintas unas sangat menjanjikan. Makanya Unas tidak bisa dihentikan begitu saja.”

“Tapi dari semua itu yang paling menderita adalah guru dan peserta didik. Guru dan murid jadi sama-sama kehilangan fokus tujuan belajar itu sendiri. Fokus mereka bergeser, tujuan seseorang bersekolah adalah lulus Unas.” jelas Kang Guru panjang lebar.

“Lha trus menurut KangGuru sendiri, gimana?” tanya Lik Power.

“Saya sendiri sepakat dengan Pak Guru Sawali , Unas diposisikan sesuai tujuan awalnya yaitu memetakan mutu pendidikan nasional. Setelah dipetakan tentulah departemen pendidikan dapat mengawal sekolah-sekolah mana saja yang perlu ditingkatkan mutu pendidikannya. Kemudian, perbaikan menyeluruh dari sistem pendidikan yang tidak bisa ditunda lagi.”

“Kecurangan yang dialami siswa sejak dini akan membentuk karakternya di masa depan. Kalau sudah begini, kasus seperti kasus koperasinya bang Sianturi tidak akan pernah mati.” jawab Kang Guru.

“Eh iya, bang Sianturi kemana ya. Kok ndak pernah keliatan?” tanya Cengkir.
“Wee lah…gimana to, Ceng? bang Sianturi kan lagi diperiksa pansus Lembaga Musyawarah Desa.” tukas Kang Sronto.

“Eh iya, ya.” kata Cengkir sambil mengangguk-angguk. Kemudian bertanya ke Kang Sronto. “Aku denger sampeyan ikut jadi panitia kusus ini, Kang?”

Kang Sronto melotot ke Cengkir. Ini anak, sering telmi tapi kalau giliran ngasih pertanyaan, pasti pertanyaan yang kritis! Apalagi tampang polosnya yang suka cengar-cengir itu bener-bener ndak pantes jadi orang cerdas!

Itulah kata-kata yang ingin disemburkan Kang Sronto. Meski tentu saja yang keluar dari mulutnya yang telah menghitam karena nikotin adalah. “Itu semua buat operasional pansus selama 3 bulan, Ceng. Buat mendatangkan saksi, sewa andong, konsultasi dengan saksi ahli atau paranormal, dan yang paling penting adalah buat beli lawuh-medang selama rapat. Bayangken saja, rapat tiap malam ndak ada suguhan sekedar kopi dan gorengan.”

“Lima milyar, ya…” kata Cengkir.

“Kalau bisa sih, kurang dari itu.” tukas Kang Sronto cepat-cepat.

“Tapi ndak mungkin kurang, kan.” ujar Cengkir.

“Ndak mungkin.” Kang Sronto mengangguk pasti.

“Tapi kalau ada lebihnya, bakal dikembalikan ke kas desa, kan?” tanya Cengkir.

“Gimana kamu ini sih, Ceng?!” Kang Sronto geleng-geleng kepala. Kemudian melanjutkan. “Pejabat yang membatalkan dan atau mengembalikan sisa dana yang telah dianggarkan berati pejabat tersebut tidak bonafide. Masak nyusun-nyusun anggaran sendiri trus ternyata dananya ada sisa dan dikembalikan. Ini berarti Pejabat tersebut tidak bisa merancang dan melihat jauh kedepan. Ya, to?”

Blaik! Kang Sronto pun tidak bisa luput dari gelombang yang membawa ke megahnya panggung politik dan manisnya dunia proyek.

“Jangan lupa, cucuku ini jangan dibawa-bawa…” kata Lik Power sambil meleletkan ampas kopi ke rokok lintingannya. Seolah tak acuh dengan pesanan politiknya itu ke Kang Sronto.

“Belum apa-apa, cucuku ini dah dikabarkan menerima sumbangan 500 juta dari bang Sianturi.” Lik Power melanjutkan. “Lha padahal cucuku ini sedang mengumpulkan koin 500-an buat…buat apa, le?”

“Buat ndukung Ibu Prita Mulyasari yang didenda 204 juta.” jawab mas Roy sang putra mahkota desa Carangpedopo.

“Nah itu. Mosok berbuat mulia malah dituduh nrima aliran dana.” gerutu Lik Power.

“Trus, koinnya sudah terkumpul banyak, mas Roy? tanya Kang Guru.

“Kalo dikumpulkan dengan sumbangan seluruh Indonesia, bakal nyampe 6 ton .” jawab mas Roy. Kemudian berkata. “Mungkin ini juga yang membuat RSOI cepet-cepet narik gugatannya. Mereka mungkin ngeri dilempar uang koin 6 ton…hehe”

“Waah…gimana kalau kasus koperasi bang Sianturi ini dibikin sperti ini?” usul Cengkir bersemangat. “Seluruh Indonesia nyumbang koin seperti kasus bu Prita ini. Trus,kalau dah terkumpul 6,7 trilyun dilemparkan tunai ke para penanggungjawabnya.”

“Pastinya bang Sianturi dan yang lain merasa minder bakal disiram berton-ton uang logam. Dan kasus bang Sianturi bakal selese, dan orang yang nilep bakal ngembaliin dana talangan ke kas desa.” Cengkir menutup konklusinya.

Seperti biasa,
celetukan Cengkir yang absurd mengakhiri Obrolan Sore kali ini.