Sore hari.
Suasana desa Carangpedopo aman dan damai seperti sore-sore yang lain. Seolah tidak terasa kalau tadi siang telah diadakan perhelatan akbar 5 tahunan yang menghabiskan biaya trilyunan, Pesta Demokrasi. Walau, entah kenapa disebut pesta, karna biasanya pesta itu identik dengan acara makan-makan enak dan gratis, yang ada malah warga harus bergotong-royong mengeluarkan harta dan tenaga untuk acara ini. Entah siapa yang benar-benar berpesta menikmati manisnya tender proyek Pemilu atau merasakan empuknya kursi dewan, tapi toh, seluruh warga Carangpedopo antusias mengikuti momen Pemilihan Umum (Pemilu) yang cuma ada 5 tahun sekali ini.

Cengkir pulang duluan, meninggalkan Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang masih sibuk menghitung suara dan dilanjutkan dengan beberes TPS yang dihias bak peringatan 17 Agustus. Memang, dengan sponsor Kepala Desa, KPU, dan Juragan Brono, semua TPS yang ada, dilombakan. Dekorasi TPS yang paling kreatif dan presentase konstituen paling tinggi, bakal dapat hadiah 3 ekor kambing. Lumayan, buat pesta beneran.

Kepulangan Cengkir disaat anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang lain masih sibuk, dimaklumi dan diikhlaskan. Karena Cengkir memiliki tugas mulia setiap sorenya, yaitu menyiapkan sekedar kopi dan hidangan ala kadarnya (kalau ada) untuk Obrolan Sore bagi warga yang ingin sekedar mengobrol tentang apa saja. Rutinitas yang biasanya dimanfaatkan warga untuk menumpahkan uneg-uneg, ide yang tak jarang ngawur tapi orisinil. Sekedar hiburan di sore hari setelah seharian berkutat dengan masalah pemenuhan kebutuhan hidup.

Kali ini yang datang ke rumah Cengkir cuma Kang Sronto.
“Yang lain pada kemana, Kang?” tanya Cengkir polos.
Kowe iki piye to. Yang lain ya masih pada sibuk di TPS to, Kir.” jawab Kang Sronto sambil menuang sedikit kopi panasnya ke lepek (piring kecil yang biasa dijadikan alas gelas).
“Eh iya ding…lha, Kang Sronto sendiri kok udah kesini?”

Tak langsung menjawab, Kang Sronto melinting tembakau, cengkeh, dan sedikit menyan menjadi rokok dan menyalakannya. Setelah menghisap dengan penuh nikmat dan menghembuskan asap berbau kemenyan (jadi maklum, ada yang menyebut rokok linting ini adalah rokok siluman), barulah Kang Sronto menjawab. “Semua itu kan ada tugasnya masing-masing. Nah, kalau aku ndak kesini, trus siapa yang bakal kesini buat nemeni kamu ngobrol. Ya to?”
“Iya, ya Kang.”
“Iyya. Ngobrol sore di rumah ini kan udah jadi budaya turun temurun dari dulu. Dan semua kebudayaan itu harus diuri-uri.” kata Kang Sronto memperkuat alasannya untuk meninggalkan kewajibannya bekerja bakti membereskan TPS.
“Tadi itu bener-bener rame, ya Kang. Orang-orang yang kerja di kota, pada mudik, trus ketemuan dan kumpul di TPS. Salam-salaman. Kayak suasana lebaran aja.” kata Cengkir riang. Memang Pemilu legislatif kali ini bertepatan dengan libur panjang Paskah yang dimanfaatkan untuk pulang kampung. Dengan alasan akan nyontreng di kampung halaman, walau nama mereka ada di Daftar Pemilih Tetap (DPT) tempat mereka bekerja.
“Bener, bener…aku malah dapat sms dari KPU Pusat yang isinya, jangan lupa untuk menyontreng tanggal 9 April 2009. Kayak sms lebaran aja.” balas Kang Sronto mengangguk-angguk.
“Hehe…coba ada yang masak kupat sama opor ayam, ya Kang. Pasti klop!” kekeh Cengkir.
“Ho oh. Wisit (angpau) juga ada. Pagi-pagi tadi, aku dapat amplop isi duit sampe tiga buah, lho Kir. Kamu dapat brapa?”
“Wah kalau itu, aku kembalikan semua, Kang.”
Mendengar ini, dagu Kang Sronto terangkat, matanya memandang Cengkir dengan tatapan menghina. Kang Sronto berkata dengan nada menuntut. “Oalah, Kir, Cengkir. Kok kamu kembalikan, to?”
“Lha iya to, Kang. Wong tiga-tiganya yang ngasih itu bukan dari Partai yang aku coblos, je.”
“We lah. Ya kamu terima aja semua, trus kamu tetep nyentang Partai pilihan kamu. Ya to? Biar aja mereka bagi-bagi duit. Kita trima duitnya, tapi jangan coblos partainya. Gitu aja kok repot.”
“Wah, aku ndak bisa kayak gitu, Kang. Kasihan. Udah bagi-bagi duit tapi ndak dicentang.”
“Hmm…pantes kere ra uwis-uwis kowe, Kir” gerutu Kang Sronto.
“Eh iya, Kang,” kata Cengkir tidak memperdulikan gerutuan Kang Sronto. “Untung aja, di desa kita gak ada yang nyaleg ya. Kalo ndak kepilih trus stress, kan kita-kita juga yang repot ya, Kang.”

Kang Sronto mengangguk-angguk, merenungkan kata-kata pemuda polos berhati tulus teman bicaranya itu. Benar juga, demi melengkapi suasana lebaran kali ini, meski tidak ada kupat dan opor ayam, sudah seharusnya para kontestan Pemilu kali ini setelah perhelatan akbar digelar mereka saling bermaaf-maafan dan legowo menerima hasil Pemilu.

Bagi caleg yang telah menghabiskan seluruh tabungan yang dikumpulkan seumur hidupnya, dan ternyata belum bisa menikmati sejuknya gedung legislatif…sebaiknya juga memaafkan diri sendiri, biar bisa menerima kekalahan.

Memaafkan diri sendiri, agar tidak menyusahkan orang-orang disekitarnya.