Sore hari.
Hujan tampaknya sedang kejar setoran di penghujung Februari ini, sebelum libur panjang di musim kemarau yang akan segera datang. Ini dibuktikan dengan hujan yang jor-joran di desa Carangpedopo, tak mau istirahat barang sejenak sejak tiga hari ini. Apalagi kali ini kilat tidak mau kalah aksi dengan tumpahan air dari langit, menyambar-nyambar menebarkan ancaman dan peringatan bagi segenap manusia. Sesombong-sombongnya manusia bakal ludes kalau nekat senggolan sama petir. Belum lagi gemuruh suara guntur yang mengesankan langit sedang menuju keruntuhannya, semakin membuat mengkeret hati yang jika tidak ada peringatan dari alam seperti ini, selalu diisi dengan angkara murka.

Di bawah ancaman kilat yang menyambar-nyambar dan guruh yang bertalu-talu inilah Cengkir berlari-lari kecil berpayungkan daun talas lebar, menuju rumahnya. Seharian dia dapat orderan panen gurame di kolam milik Pak Ali yang berada di grumbul lor desa Carangpedopo. Setelah mampir sebentar di mesjid desa buat solat Ashar, Cengkir kembali ke rumah dengan menenteng plastik berisi 3 ekor gurame pemberian Pak Ali di tangan kiri, dan tangan kanannya memegang payung alami dari daun talas besar dan lebar. Tinggal beberapa langkah dari rumah Cengkir, tiba-tiba terdengar suara kesiut, dan…

– BLETAK! –

Bersamaan dengan petir disusul suara guruh yang begitu keras, entah dari mana datangnya, sebongkah batu jatuh menembus daun talas dan menghantam punggung Cengkir. Aduhan dan umpatan Cengkir langsung terdengar.

Hal yang pertama dilakukan Cengkir adalah tolah-toleh mencari tersangka yang nekat melempar punggungnya dengan batu. Jangan salah, meski pada dasarnya dia adalah orang baik hati, tapi kalau ada yang nekat menganiaya seperti ini…ke liang kubur pun bakal Cengkir kejar! Setelah tidak ada tanda-tanda manusia yang iseng mengganggunya, Cengkir memungut apa sebetulnya yang mengenai punggungnya. Ternyata sebongkah batu sekepalan tangan. Hitamnya, lebih pekat daripada semua batu yang pernah dilihat Cengkir selama ini, begitu hitam dan mengkilat tersiram air hujan. Sekilas batu itu menyerupai kepala ikan gurame yang dia bawa. Lekukan dibagian bawah benar-benar mirip mulut ikan gurame yang ndomble, setebal bibir Cengkir. Langsung yang ada dipikiran Cengkir adalah, batu ini bisa dimanfaatkan buat batu ulekan miliknya yang hilang. Cengkir membawa batu itu pulang.

Tepat ketika Cengkir selesai meracik bumbu gurame bakar dan mempersiapkan peralatan dan tempat untuk membakarnya, berduyun-duyun datang bapak-bapak untuk melaksanakan kegiatan rutinnya, yaitu ngobrol sore hari di rumah Cengkir. Tidak seperti hari kemarin yang juga kondisi hujan yang datang cuma Lik Power, kini yang rela menembus badai petir di sore hari ini ada lima orang. Yaitu Juragan Brono, Kang Sronto, Pak Kaji Soleh, Lik Power, dan Mas Roy. Bapak-bapak ini rela basah-basahan demi ikut menikmati gurame bakar yang mereka yakin bakal disajikan oleh tuan rumah. Bagaimana bisa bapak-bapak ini datang tepat waktu ketika semuanya sudah siap dan tinggal bakar ikannya, jadi misteri bagi manusia sederhana seperti Cengkir. Tak terbersit sedikit pun di benak Cengkir buat sekedar menyimpan 1 ekor buat lauknya esok hari. Biarlah semua dihidangkan sore ini, asal semua tamunya kebagian mencicipi ikan yang termasuk lauk mewah di desa ini.

Berenam kini duduk mengelilingi pawon (kompor dari tanah liat yang ada di lantai berbahan bakar kayu) yang digunakan buat membakar ikan di tengah ruangan belakang rumah Cengkir. Bapak-bapak ini lalu menikmati nasi liwet panas mengepul dan ikan gurame bakal sambal trasi yang jadi hidangan di sore yang basah.
Kang Sronto-lah yang pertama kali melihat batu aneh yang dijadikan batu ulekan oleh Cengkir.
“Ini batu apa, Kir? Kok sajake nyolowadi? (kok,keliatannya nganeh-anehi?)” tanya Kang Sronto sambil memutar-mutar batu hitam mengkilat ditangannya.
“Ndak tau, kang. Tadi pas pulang kesini ujan-ujan tiba-tiba, kok punggungku dilempar batu yang ndak tau darimana asalnya itu.” jawab Cengkir. Mulutnya yang tebal dan berminyak asik komat-kamit memamah nasi dan gurame bakarnya.
Kang Sronto mendadak sadar, mulut nggedabel Cengkir mirip dengan pahatan alami batu yang membuatnya penasaran. Sebagai FPK, Front Pemuja Klenik, Kang Sronto langsung berkata dengan semangat. “Wah, Kir. Jangan-jangan ini batu bisa buat nyembuhkan sgala penyakit! Ini bakal bisa jadi batu bertuah jilid 3, Kir!”

Segera saja diskusi gayeng ala jelata menghangatkan suasana. Sejenak terlupa di luar petir masih menyambar, kebutuhan bahan pokok masih melambung, ancaman kenaikan BBM bakal datang lagi. Semua asik larut dalam pembicaraan batu bertuah jilid 3 milik Cengkir.
Pak Kaji Soleh jelas melarang keras pemanfaatan batu itu sebagai saran syirik pada Sang Pencipta. Dan bersikeras, batu itu dimusnahkan secepatnya.

Juragan Brono yang kondang dengan kepiwaiannya dalam menjalankan bisnis sembako tidak sependapat, dia mengusulkan batu itu dikomersilkan secara profesional. Sehingga batu bertuah ini bakal menjadi daya tarik wisata bagi desa Carangpedopo, yang juga berarti meningkatkan Pendapatan ASli Desa. Juragan Bonto siap jadi investor tunggal. Biar dia yang mengatur semuanya, lengkap dengan merchandise dan minuman dalam kemasan hasil celupan batu bertuah milik Cengkir. Bahkan kalau perlu dibikinkan taman bermain anak-anak. Juragan Brono menutup perkataannya dengan air liru yang hampir menetes membayangkan keuntungan berkali-lipat di depan matanya.

Melengkapi usulan Juragan Brono, Lik Power, mantan Kades yang terjangkit post-power-syndrome, mengusulkan, sebaiknya sarana dan prasarana desa yang mendukung jubelan orang yang bakal membanjiri desa ini kudu dipersiapkan dulu. Mulai dari jalan desa, tempat antri, penginapan, sarana air bersih dan lain-lain. Biar saat buka praktek nanti, tidak terjadi korban dan pengunjung pun nyaman saat menunggu antrean. Sehingga pengunjung nyaman warga senang. Untuk proyek ini dan seterusnya, Lik Power dengan merendahkan diri menaikkan mutu siap mencalonkan diri menjadi ketua Panitia.

Mas Roy, sang mahasiswa yang kuliah di kota dan kebetulan sedang liburan dirumah orang tuanya, yaitu Pak Kades, ikut angkat bicara. Mas Roy bilang, itu semua gak rasional. Buat apa sih semua itu? Bukankah ilmu kedokteran ilmiah sekarang ini sudah semakin maju. Jaman juga sudah modern, tapi kok ya masih percaya hal-hal begituan.

“Weh, enak aja!” kata Kang Sronto tidak terima kepatuhannya di dunia klenik, dibilang irasional sama bocah kemaren sore! Kang Sronto melanjutkan. “Kalo ini gak rasional, lha berati sampeyan juga to. Mosok, seharian kerjanya di depan kompyiuter sambil cengar-cengir sendiri, malah kadang ketawa-ketawa sendiri gak jelas. Apa itu yang namanya rasional?”

Memang Kang Sronto sering lihat Mas Roy berjam-jam di depan laptop kerjanya cuma senyam-senyum saat buka Facebook, cengar-cengir liat foto di Friendster, ngakak di YM, dan buang sampah di Plurk. Tapi mana tau Kang Sronto soal begituan. Mas Roy terdiam, benar juga kata Ndoro Kakung….kalo kita masih suka Facebook,Friendster, Plurk dan sebangsanya, sebaiknya tidak mengatakan hal-hal klenik seperti ini adalah irasional. Karena bagi mereka pun kita dianggap irasional!….silahkan baca selengkapnya pandangan Ndoro Kakung ini.

Setelah semua mengemukakan pendapatnya dan tidak ada titik temu, kelima orang ini menoleh pada Cengkir.
“Trus batu ini mau kamu apa kan, Kir?” tanya mereka serempak.

“Lha, batu ini aku bawa pulang karena aku lagi butuh batu buat ulekan, ya aku mau pake terus buat ngulek sambel dan bumbu dapur, lah. Kalo ndak ada ini,trus aku mau pake apa?” jawab Cengkir polos.

Modiar, kowe.